Bolehkah aku meminta waktu beristirahat untuk mendengar ceritaku?
Sebentar saja, hanya ingin berbagi cerita tentang sepasang anak kecil
yang polos dan lugu. Sekolah Dasar sebagai pembuka perkenalan untuk
bermain dan belajar bersama.
Laki – laki kecil yang suka bermain layangan di istirahat sekolah.
Celana pendek merah di pinggang diikat dengan sabuk hitam, pipi penuh
bedak dan rambut klimis sehabis keramas. Perempuan kecil rambut
diikat gaya air mancur dan poni diatas alis, rok pendek merah di
pinggang dengan sabuk hitam rapi dengan gaya lincah yang sering kali
dijadikan ketua dalam pelajaran seni tari.
Layangan yang tidak pernah lepas saat jam istirahat, berbekal
gulungan benang, berteriak lepas dengan segerombolan sebaya nya.
Mendongak keatas, berlarian tanpa arah menguasai lapangan seakan
tidak menghiraukan lalu – lalang keadaan sekitar.
Permainan lompat tali menjadi pilihan utama untuk mengisi istirahat
si anak perempuan dengan teman sebayanya. Berteriak di tengah lapang
dan tertawa lepas. Seakan waktu istirahat sekolah hanya untuk
bermain.
Diwaktu inilah, mereka selalu berteriak dan berlari menuju ibu guru
kelas. Suara lantang dan menangis saling bersahutan “bu
guru..dia nakal”. Terus
terisak, tanpa alasan jelas
dan tidak mau kalah, hanya menyalahkan satu sama lain, bu guru hanya
tertawa seraya memeluk dan berkata “Lapangannya dipake
bersama ya, hati – hati kalau berlari lihatlah pandangan kedepan.
Bagaimana kalau lompat tali nya di tepi lapangan? Hayo anak Ibu yang
ganteng dan cantik, baikkan yaa!!” Kemudian
berjabat tangan dan menangis. Dengan gaya sok bijaksana saling
menasehati
“kamu hati – hati dong kalau lari!!”
“kamu main lompat talinya di pinggir ya, nanti ketabrak aku
lari”
Sebuah kalimat yang hampir
setiap hari kembali diucapkan, setelah bertengkar dan menangis.
***
Perlahan
tumbuh remaja, melepas masa Merah Putih dan menepaki jenjang
menengah. Anak kecil yang terlepas dalam masa penglihatan, tidak lagi
bercengkrama ataupun bertengkar. Memasuki tahap Putih – Abu, mulai
kembali dengan sebuah pertemuan dengan nama “reuni”. Bertukar
nomer telephone yang masih kikuk bergeliat dalam teknologi.
Saling tegur dan sapa, bergemuruh
dalam nostalgia. Kemudian lingkungan masih menetapkan pemikiran si
anak kecil kembar yang masih dipertemukan untuk bersama.
Anak kecil dengan nama nyaris sama,
keberadaan kelahiran yang tidak ada beda. Hobby yang juga sejalan.
Perbedaan hanya terletak dari nama orang tua. Sepasang anak kecil
yang selalu merayakan ulangtahun bersama, meski dengan cara sederhana
di masa merah putih.
***
Dewasa mulai melangkah perlahan,
menghadiri pertemuan dalam undangan pernikahan. Sekelompok anak kecil
yang bermain lompat tali dan berlarian mengejar layangan. Perlahan
melepas masa lajang dengan pilihan hidup dari sebuah ketentuan.
Sepasang anak kecil yang dulu
selalu bertengkar dan mengadu kini bertemu dalam kedewasaan. Meski
sering kali lontar ledek, tapi aromatik kepemimpinan nampak samar. Hye anak kecil jahil, seakan membuat hati menggigil, akankah kembali merengek seperti dimasa itu?
#baitdalamcerita
14.12.16
14.12.16
Comments
Post a Comment