Sore
itu, ku gantungkan kaki di sela jeruji besi yang terpagar di tepi
kamar. Dekorasi kupu – kupu lucu, menjadi lintasan pertama untuk
mengingat kejadian saat itu. Iya.. belasan tahun lalu, saat Bu Ida
memberikan tugas nya bercerita tentangmu, ayah. Ku tulis sederet
cerita dan kemudian membentuknya menjadi kupu – kupu lucu. Berjalan
di rumput yang basah, bersepeda meski berulang kali terjatuh dan
berlarian membuat ku tersungkur dan tengah malam beranjak dari kamar
hanya untuk meraih tangannya dan merengek paksa tentang istana megah
beserta pangeran dan ratu. Tertawa bebas dan tidak memikul beban. Tak
satupun rasa benci untuk menunggu moment yang terus berulang
dan menyakitkan karena harus terjatuh.
Kusaksikan
beberapa pasang mata pula yang melintas dihadapanku saat itu. Saat
dimana roda sepeda mulai memutar halus dan membawa ku pergi
berkelana. Dengan intonasi sombong aku berteriak “Yeee.. aku
bisa naik sepeda”, meski luka di kaki belum kering dan harus
terjatuh lagi. Tidak jarang pula, aku berhenti di segerombol anak
kecil dan memamerkan kemampuan hebat ku. “Aku bisa naik sepeda,
diajarin ayah”. Ku gowes sepeda menuju sekolah dan berlari
kearah Bu Ida. “Ibuuu.. aku jatuh kemarin sama ayah karena naik
sepeda”. Bu Ida yang terus mengelus luka di dengkul yang
memerah karena tetesan obat yang diberikan mama.
Seketika
waktu aku harus meninggalkan Bu Ida dan menemukan Ibu guru lainnya.
Bu Amel misalnya, sudah bukan disebut ibu guru. Meski tugasnya sama,
yaitu mengajar tapi kali ini penyebutannya adalah Bu dosen. Disuatu
tempat dan waktu berbeda untuk memanggil dengan sebutan yang berbeda
pula. Bu Amel dengan sederetan pesan logaritma nya dan setumpuk
berkas yang harus di selesaikan segera mungkin. Perintah tegas dan
lantang, tidak menghiraukan keadaan untuk mengelak. Tidak ada lagi
ada kupu – kupu lucu dan cerita tentang ayah di setiap hari nya.
Melepas
Bu Amel, kembali aku menemukan Bu Aida, yang namanya nyaris sama
dengan Ibu guru dimasa kecilku. Bu Aida atasan di tempat kerja yang
memiliki sikap diktator. Abaikan pesan logaritma. Abaikan Bu Aida.
Ini langkahku mulai terjatuh dari cinta. Sepeda yang dulu aku gowes,
kini berubah menjadi lantunan perjalanan lemah. Terjatuh, tersungkur
berulang kali dan menginjak rerumputan yang tidak lagi basah. Disaat
usia yang sudah semestinya, tapi perjalanan sepeda ku belum saja
sampai. Rumput yang dulu basah, kini menjadi reruntuhan puing yang
ikut melukai.
Terhempas
angin, waktu dan kehidupan pilu sedang akrab berdampingan. Aku benci,
ayah !! Berulang kali tersungkur, terjatuh dan terluka. Bahkan obat
merah sudah tidak bisa mengobati luka. Aku benci, ayah !! Dengan
kepergianmu yang tidak lagi bisa mengikis rasa kantuk untuk menunggu
cerita pangeran dan ratu. Lagi – lagi aku benci, ayah !! Kali ini
harus menunggu lebih dari rasa kantuk seperti saat itu. Sepeda yang
dulu selalu aku banggakan, kini berubah menjadi rongsokan puing
kehancuran.
Aku
benci dengan kepergianmu. Bangunlah, ayah!! Untuk apa kau betah dalam
tanah itu? Penuh cacing dan semut. Kembalilah pada ku. Berikan lagi
sepeda itu, aku ingin berjalan di rumput basah lagi denganmu. Aku
tidak akan menunggu dan mengganggu waktu mu untuk bercerita istana
pangeran dan ratunya. Aku ingin (sosok) ayah kembali, menjadi
pangeran dan aku ratunya.
#baitdalamcerita
17.04.17
Comments
Post a Comment