Sebuah Cerita dari Pesisir Kota di Reruntuhan Hujan


       Siang itu, dua roda mengantarkan berkelana ke pesisir kota kecil. Didampingi senyum dan tawa renyah ntah apa yang di bicarakan. Mengukur jarak tempuh dan menghabiskan bahan bakar sebagai nyawa utama. Menelusuri arus kali yang terus mengalir segar. Meresapi pepohonan yang perlahan terkikis polusi sebuah industri. Memahami langit yang cukup terang, kemudian berubah haluan warna menjadi hitam dan gelap. Seketika hujan mulai menyapa ramah, membasahi zona roda berputar, perlahan merambati zona make up yang sebelumnya bersinar.

         Hujan datang dengan seribu dukungan. Menyapa hebat sampai menghalangi pemandangan. Terus memaksa roda berputar lebih cepat dan mengantarkan di sudut simpang. Menepi mencari perlindungan. Maafkan aku” Kata yang terus berulang dengan tatapan bersalah. Hujan kah yang salah? Hujan yang membuatmu bersalah? Atau perjalanan yang memaksa kamu mengakui kesalahan?

       Tutup mata mu dihadapanku. Biarkan dia menyapu halus rona wajah keceriaan selama perjalanan. Rasakan dia, betapa kuatnya hujan mampu membasahi sendi – sendi dipermukaan? Sudahkah tubuhmu mengalami kedinginan? Apakah kamu menyerah dengan keadaan? Katakanlah, selagi aku masih dihadapanmu !

       Tidak ada yang harus mengakui kesalahan. Hujan memberikan sebuah pengharapan dan kekuatan. Dia sedang berlari mengejar mimpi agar rerumputan lebih tumbuh segar, tanpa menghiraukan keadaan dan siapa yang membencinya. Hujan masih saja bertahan, pada akhirnya seseorang yang membencinya menyerah dan menyaksikan pelangi hasil dari hujan yang berjuang.

         Jadi..masih kah ada yang bersalah? Buka matamu dengan senyuman yang sudah kamu buat tadi pagi, hilangkan rasa bersalah itu. Tatap aku, berikan aku canda ceriamu saat ini, selagi aku masih berdiri dengan dunia yang bersinar, dihadapanmu.





#baitdalamcerita

     21.11.16

Comments